Nama              : Angga Dwi Cahyo

NPM / Kelas   : 30408121 / 4 ID02

Tugas              : Kewirausahaan

 

1. Apa yang dimaksud dengan kewirausahaan, berasal dari bahasa apakah? Sebutkan pula artinya?
Jawab:

 Kewirausahaan (Entrepreneurship) berasal dari bahasa Perancis yaitu Perantara, Kewirausahaan adalah proses penciptaan sesuatu yang berbeda nilainya dengan menggunakan usaha dan waktu yang diperlukan, memikul resiko finansial, psikologi dan sosial yang menyertainya, serta menerima balas jasa moneter dan kepuasan pribadi

 

2. Apa yang dimaksud dengan wirausahawan, dan sebutkan tiga jenis perilakunya?

Jawab:

 Wirausahawan adalah seorang yang merubah nilai sumber daya, tenaga kerja, bahan dan faktor produksi lainnya menjadi lebih besar daripada sebelumnya dan juga orang yang melakukan perubahan, inovasi dan cara-cara baru

 1.      Memulai inisiatif.

2.      Mengorganisasi dan mereorganisasi mekanisme sosial/ekonomi untuk merubah sumber daya dan situasi dengan cara praktis.

3.      Diterimanya resiko dan kegagalan.



3. Wirausahawan dunia modern muncul pertama kali di Inggris pada masa revolusi pada akhir abad ke 18. Apa yang menjadi kunci penting seorang wirausahawan? Sebutkan Karakteristiknya menurut Mc Clelland dan karakteristiknya yang sukses dengan n Ach tinggi.

Jawab:

Kewirausahaan Dalam Perspektif Sejarah muncul pertama kali di Inggris pada akhir abad 18.  Diawali dengan penemuan-penemuan baru seperti mesin uap, mesin pemintal dll. Tujuan utama mereka adalah pertumbuhan dan perluasan organisasi melalui inovasi dan kreativitas. Jadi keuntungan dan kekayaan bukan tujuan utama. Karakteristik Wirausahawan Menurut McClelland :

1. Keinginan untuk berprestasi

2. Keinginan untuk bertanggung jawab

3. Preferensi kepada resiko-resiko menengah

4. Persepsi kepada kemungkinan berhasil

5. Rangsangan oleh umpan balik

6. Aktivitas energik

7. Orientasi ke masa depan

8. Keterampilan dalam pengorganisasian

9. Sikap terhadap uang

 

Penentuan potensi kewirausahaan dibawah ini hal-hal yang bisa memberikan potensi bagi kewirausahaan:

1.      (karakteristik wirausahawan yang sukses dengan n-Ach tinggi)

2.      Kemampuan inovatif

3.       Toleransi terhadap kemenduaan (ambiguity)

4.       Keinginan untuk berprestasi

5.       Kemampuan perencanaan realistis

6.       Kepemimpinan terorientasi kepada tujuan

7.      Obyektivitas

8.      Tanggung jawab pribadi

9.       Kemampuan beradaptasi

10.   Kemampuan sebagai pengorganisasi dan administrator

 

4. Sebutkan tiga kebutuhan dasar yang mempengaruhi pencapaian tujuan ekonomi menurut Mc Clelland, dan berikanlah contoh masing-masing.

Jawab:

Tiga kebutuhan dasar yang mempengaruhi pencapaian tujuan ekonomi menurut McClelland yaitu:

 1. Kebutuhan untuk berprestasi (n-ACH)

n-ACH adalah motivasi untuk berprestasi , karena itu karyawan akan berusaha mencapai prestasi tertingginya, pencapaian tujuan tersebut bersifat realistis tetapi menantang, dan kemajuan dalam pekerjaan. Karyawan perlu mendapat umpan balik dari lingkungannya sebagai bentuk pengakuan terhadap prestasinya tersebut.

 2. kebutuhan untuk berafiliasi (n-Afil)

Kebutuhan untuk Berafiliasi atau Bersahabat (n-AFI) Kebutuhan akan Afiliasi adalah hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan akrab. Individu merefleksikan keinginan untuk mempunyai hubungan yang erat, kooperatif dan penuh sikap persahabatan dengan pihak lain. Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi. Mc Clelland mengatakan bahwa kebanyakan orang memiliki kombinasi karakteristik tersebut, akibatnya akan mempengaruhi perilaku karyawan dalam bekerja atau mengelola organisasi.

 3. kebutuhan untuk berkuasa (n Pow)

Kebutuhan akan Kekuasaan (n-POW) Kebutuhan akan kekuasaan adalah kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara dimana orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan berperilaku demikian atau suatu bentuk ekspresi dari individu untuk mengendalikan dan mempengaruhi orang lain.

 

 5.   Sebutkanlah sumber-sumber gagasan dalam identifikasi peluang usaha baru.
Jawab :

a. Kebutuhan akan sumber penemuan

b. Hobi atau kesenangan pribadi

c. Mengamati kecenderungan-kecenderungan

d. Mengamati kekurangan-kekurangan produk dan jasa yang ada

e. Mengapa tidak terdapat

f.  Kegunaan lain dari barang-barang biasa

g. Pemanfaat produk dari perusahaan lain

 

 

Pendidikan :

 

LAPORAN        : ANGGA DWI CAHYO

JUDUL              :STUDI KASUS PELAKSANAAN KELOMPOK KERJA GURU (KKG)

Penelitian yang bersifat kualitatif ini mengangkat permasalahan di Gugus Inti I Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kaliwungu, mengenai pelaksanaan Kelompok Kerja Guru (KKG), Melalui permasalahan tersebut, diharapkan dapat memotret realitas dalam pelaksanaan Kelompok Kerja Guru (KKG). Berdasarkan informasi dan data yang terkumpul diperoleh simpulan bahwa pelaksanaan Kelompok Kerja Guru (KKG) di Gugus Inti I Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal, belum dilaksanakan secara efektif.

           Hal tersebut terlihat dalam proses pembelajaran KKG yang cenderung pasif dan terpusat pada pemandu. Penyusunan program kegiatan KKG sudah mengungkap dan memenuhi kebutuhan guru, dalam mengantisipasi perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga guru-guru mampu menguasai kompetensi personal, profesional, dan kemasyarakatan. Namun demikian pelaksanaan program kegiatan KKG belum dapat terlaksana sesuai dengan harapan, karena ada benturan kepentingan dinas sehingga penyelesaian program kegiatan tidak bisa tepat waktu.Tingkat kedisiplinan guru dalam mengikuti KKG belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Hal ini dapat terlihat dari kedatangan guru dalam kegiatan KKG yang lebih lambat dari jadwal dimulainya pelaksanaan KKG.

           Pemandu/tutor dalam KKG di Gugus Inti I Cabang Dinas P dan K Kaliwungu sudah mumpuni dalam penguasaan materi, namun dalam penyajiannya kurang mampu mengelola proses pembelajaran secara efektif. Hal ini ditandai suasana proses pembelajaran yang kurang menarik, dan berpusat pada pemandu. Saran yang diajukan berdasarkan temuan adalah pertama, Sistem Gugus Terpadu. Kedua, perlu dipikirkan terobosan-terobosan dan kerja sama dengan masyarakat, sejalan dengan peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah. Ketiga, melakukan koordinasi dengan lembaga lain yang dapat memberikan sertifikat guna keperluan kenaikan tingkat. Keempat, tutorial bermedia, sekiranya akan lebih efektif dalam pelaksanaan KKG. Kelima, mengoptimalkan peran tutor/pemandu dengan mengevaluasi pelaksanaan KKG.



Pendahuluan

           Peningkatan mutu pendidikan khususnya di Sekolah Dasar merupakan fokus perhatian dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Hal ini karena Sekolah Dasar merupakan satuan pendidikan formal pertama yang mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar. Pada kenyataannya pendidikan bukanlah suatu upaya yang sederhana, melainkan suatu kegiatan yang dinamis dan penuh tantangan. Pendidikan akan selalu berubah seiring dengan perubahan zaman, setiap saat pendidikan selalu menjadi fokus perhatian dan bahkan tak jarang menjadi sasaran ketidakpuasan karena pendidikan menyangkut kepentingan semua orang, bukan hanya menyangkut investasi dan kondisi kehidupan di masa yang akan datang, melainkan juga menyangkut kondisi dan suasana kehidupan saat ini. Itulah sebabnya, pendidikan senantiasa memerlukan upaya perbaikkan dan peningkatan sejalan dengan semakin tingginya kebutuhan dan tuntutan kehidupan masyarakat (Fattah, 2000:1).

          Oleh karena itu, perbaikan dan peningkatan mutu pendidikan melalui strategi Sistem Pembinaan Profesional dijabarkan dalam pelaksanaannya di lapangan dengan membentuk gugus sekolah yang terdiri dari satu sekolah sebagai SD Inti dan SD lainnya sebagai SD Imbas, sehingga satu gugus sekolah paling banyak terdiri dari 8 SD. Pada SD Inti dibentuk Pusat Kegiatan Guru (PKG). Di dalam PKG tersebut dilakukan kegiatan berupa Kelompok Kerja Guru (KKG), Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS), dan Kelompok Kerja Penilik Sekolah (KKPS). Kelompok Kerja ini berfungsi sebagai wadah peningkatan mutu profesional guru dan tenaga kependidikan.

           Keberadaan Pusat Kegiatan Guru (PKG) dalam Sistem Pembinaan Profesional khususnya di lingkungan Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal, secara organisatoris telah ada dan berfungsi. Namun terkadang, sistem pelaksanaannya kurang efektif sehingga tujuan yang diharapkan tidak dapat tercapai secara optimal.  Kegiatan KKG yang lazim diadakan tiap hari Sabtu ternyata belum sesuai dengan harapan bagi sementara guru yang menganggap bahwa kegiatan KKG hanya merupakan serangkaian kegiatan klasik, dari "datang, duduk, dengar, makan, canda dan pulang" tanpa membawa hasil. Bahkan ada kecenderungan, para guru yang mengikuti KKG dilandasi rasa "terpaksa" lantaran "takut" dengan Kepala Sekolah atau Pengawas, bukan dilandasi motivasi yang tinggi akan pentingnya wawasan dan pengetahuan guna meningkatkan kompetensi.

Berdasarkan kerangka berpikir seperti di atas, maka persoalan dasar yang hendak dipecahkan melalui penelitian ini adalah: Bagaimana pelaksanaan Kelompok Kerja Guru (KKG) di Gugus Inti I Cabang Dinas P dan K Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal?  Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui ruang lingkup kegiatan KKG, (2) memperoleh gambaran yang mendalam tentang proses pembelajaran dalam KKG sebagai upaya peningkatan kompetensi guru, (3) mengetahui gambaran kedisiplinan guru dalam mengikuti KKG, (4) memperoleh gambaran yang detail tentang kemampuan para tutor/pemandu KKG dalam menyampaikan materi, dan (5) memperoleh gambaran mengenai interaksi yang terjadi dalam pelaksanaan KKG.  Manfaat yang bisa dipetik dari pelaksanaan penelitian ini adalah: (1) manfaat teoretis, meliputi: diperoleh gambaran mengenai ruang lingkup kegiatan KKG, proses pembelajara, berbagai kondisi kultural-psikologis yang mendasari kedisiplinan guru, kemampuan tutor/pemandu dalam menyampaikan materi, dan interaksi yang terjadi dalam pelaksanaan KKG, (2) manfaat praktis, sebagai bahan masukan yang penting bagi penyelenggara pendidikan, khususnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dalam upaya memecahkan masalah yang terjadi dalam pelaksanaan Kelompok Kerja Guru (KKG).

Landasan Teoretis


            Fattah (2000:60-61), mengatakan bahwa kemampuan profesional guru (professional capacity) terdiri dari kemampuan intelegensi, sikap, dan prestasinya dalam bekerja. Dalam berbagai penelitian, kemampuan profesional guru sering ditunjukkan dengan tinggi rendahnya hasil pengukuran kemampuan menguasai materi pelajaran yang diajarkan. Secara sederhana, kemampuan profesional ini bisa ditunjukkan dengan kemampuan guru dalam menguasai pengetahuan tentang materi pelajaran yang diajarkan termasuk upaya untuk selalu memperkaya dan meremajakan pengetahuan tersebut. Salah satu upayanya, dapat melalui kegiatan dalam Kelompok Kerja Guru (KKG).  Keberadaan kegiatan KKG sebetulnya merupakan bagian yang integral dari perwujudan Sistem Pembinaan Profesional, yang didalamnya terdapat serangkaian kegiatan peningkatan mutu pendidikan, kemampuan profesional guru, mutu proses belajar mengajar serta hasil belajar dengan mendayagunakan segala sumber daya dan potensi yang dimiliki oleh sekolah, tenaga kependidikan dan masyarakat sekitarnya.

           Depdikbud dalam bukunya Pedoman Pengelolaan Gugus Sekolah menyatakan KKG berfungsi: (1) menyusun kegiatan KKG satu tahun dibimbing pengawas, Tutor dan guru pemandu; (2) Menampung dan memecahkan masalah yang dihadapi guru dalam kegiatan belajar-mengajat melalui pertemuan, diskusi, contoh mengajar, demonstrasi penggunaan dan pembuatan alat peraga. Sedangkan tujuan dari KKG adalah membantu meningkatkan kemampuan guru secara profesional dalam melaksanakan tugasnya yaitu keberhasilan kegiatan belajar-mengajar (Depdikbud 1995/1996:17-21).  Secara esensial, kegiatan KKG mengarah ke penguasaan kompetensi yang harus di kuasai guru. Menurut Raka Joni (1980) kompetensi guru meliputi kompetensi profesional, personal dan kemasyarakatan.
Atas dasar rujukan kompetensi di atas, maka guru harus meyakini bahwa proses pembelajaran dalam KKG dapat bermanfaat untuk meningkatkan penguasaan kompetensi yang dimiliki. Dengan demikian, pelaksanaan KKG di tingkat gugus sekolah harus mampu memberikan peluang dan tantangan kepada guru terhadap penguasaan kompetensi.

            Dalam terminologi umum, kedisiplinan guru dalam mengikuti KKG dapat merujuk pada kode etik guru yang merupakan pedoman guru dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan kode etik guru. Kedisiplinan yang diharapkan dalam kegiatan KKG sangat dekat dengan kode etik yang ke-6 yaitu guru secara mandiri dan/atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya. Kegiatan tutorial dilaksanakan berpijak pada gagasan pokok bagaimana caranya agar kegiatan KKG dapat berjalan secara terus menerus, tanpa menunggu pembinaan hirarkis dari "atas". Dalam kegiatan KKG, peran tutor sangat menentukan di dalam proses pembelajaran. Hal ini karena seorang tutor merupakan tenaga guru potensial yang bertugas secara penuh memberikan bantuan profesional kepada teman-teman sejawat (guru).

            Dinamis tidaknya pelaksanaan KKG sudah barang tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor. Satu di antaranya adalah interaksi yang terjadi dalam pelaksanaan KKG, baik interaksi antara guru dengan guru peserta KKG, tutor dengan guru, dan tutor dengan tutor. Dalam konteks yang lebih aplikatif, tutor berperan sebagai "guru" sedangkan guru peserta KKG berperan sebagai "siswa".  Kegiatan KKG merupakan kegiatan yang sudah diprogramkan dari pembuat keputusan, dalam hal ini pemerintah. Secara kontekstual dapat dikatakan bahwa pemerintah mengharapkan kegiatan KKG harus dijalankan sebagai upaya peningkatan kompetensi guru. Karakteristik yang perlu dikembangkan di setiap daerah perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi sehingga kegiatan KKG dapat bermanfaat bagi guru, yakni munculnya perilaku inovatif dalam proses belajar-mengajar setelah mengikuti KKG.

           Program luhur yang ditetapkan pemerintah kemudian disosialisasikan kepada Depdiknas untuk ditelaah lebih lanjut. Dalam konteks yang aplikatif, daerah sebagai penerima program perlu merealisasikan harapan pemerintah. Oleh karena itu, masing-masing daerah diharapkan menterjemahkan program sesuai dengan keadaan dan kondisi masing-masing, agar nantinya muncul perilaku yang inovatif dalam upaya peningkatan kompetensi guru.


Di tataran bawah, program kegiatan KKG dilaksanakan dengan membentuk Gugus Sekolah yang ada di setiap Kecamatan. Gugus Sekolah terdiri dari satu SD Inti dan beberapa SD lain yang berada di sekitarnya sebagai SD Imbas. Secara spesifik, tiap Gugus Sekolah perlu menyusun rencana kegiatan KKG dengan berpedoman pada petunjuk penyelenggaraan Gugus Sekolah yang dikeluarkan pemerintah. Sebagai titik kulminasi dalam kegiatan KKG diharapkan dapat meningkatkan kompetensi guru, baik kompetensi personal, professional, dan kemasyarakatan.  Indikator ketercapaian tujuan luhur dalam kegiatan KKG dapat dilihat dari lima hal, yakni (1) Implementasi kegiatan KKG, (2) proses pembelajaran KKG yang aktif, (3) intensitas kedisiplinan guru yang tinggi, (4) kegiatan tutorial yang bermedia, dan (5) terjadinya interaksi yang multi arah.

Metode Penelitian

            Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Artinya, permasalaan yang dibahas dalam penelitian ini tidak berkenaan dengan angka-angka dan bertujuan untuk menggambarkan serta menguraikan keadaan atau fenomena tentang pelaksanaan Kelompok Kerja Guru (KKG).
Penelitian ini dilaksanakan di Gugus Inti I Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal pada tahun pelajaran 2006/2007. Peneliti menentukan lokasi tersebut dengan pertimbangan Gugus Inti I merupakan gugus yang berada di jalur perkotaan namun pelaksanaan KKG terkesan belum optimal. Selebihnya Gugus Inti I merupakan sentral kegiatan dan aktivitas guru-guru se-Kecamatan Kaliwungu, khususnya di SD 01 Sarirejo.  Dalam penelitian ini ditentukan 4 orang subjek penelitian yang berhubungan dengan pelaksanaan KKG, yaitu seorang guru senior, seorang guru yunior (muda), seorang kepala sekolah, dan seorang guru yang bertugas sebagai pemandu/tutor dalam pelaksanaan KKG.

           Pengumpulan data dilakukan berulang-ulang dalam beberapa tahap berdasarkan perkembangan yang muncul sehubungan dengan jawaban-jawaban atas suatu pertanyaan. Observasi dan wawancara merupakan dua teknik pengumpulan data yang digunakan sekaligus. Sedangkan dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data tentang beberapa hasil yang pernah dicapai guru dan situasi pelaksanaan KKG.  Keabsahan data merupakan persoalan yang cukup signifikan dalam penelitian kualitatif. Oleh karena itu, pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan triangulasi (triangulation), pengecekan dengan teman sejawat (peer debriefing), analisis terhadap kasus-kasus negatif (negative case analysis), penggunaan referensi yang akurat (referential adequacy), pengecekan anggota (member cheking) dan keikutsertaan di lapangan dalam rentang waktu yang panjang (prolonged engagement).

          Teknik analisa data merupakan upaya mencari dan menata secara sistematis hasil observasi, wawancara dan dokumentasi untuk meningkatkan pemahaman penelitian terhadap kasus yang diteliti dan menyajikannya sebagai teman bagi orang lain. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut, analisa perlu dilanjutkan dengan upaya mencari makna atau meaning (Muhadjir 1989:177). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis data dari Bogdan dan Biklen, yang kedua yaitu analisis data setelah pengumpulan data selesai. Hal tersebut peneliti pilih dengan alasan bahwa informasi yang diperoleh dari lapangan akan lebih lengkap, sehingga tidak perlu diuji kembali


HASIL PENELAITIA DAN PEMBAHASAN  

1. Ruang Lingkup Kegiatan KKG

Secara substansi, program kegiatan KKG di Gugus Inti I, sudah sesuai dengan harapan guru. Program kegiatan sudah disusun menurut kelas dan tingkat permasalahan yang muncul di lapangan sesuai dengan bidang studi masing-masing. Oleh karena itu, di Gugus Inti I selain ada KKG untuk guru kelas (I-VI), juga ada KKG untuk guru Agama (KKGA) dan guru Olah Raga (KKGO).  Seorang Kepala Sekolah yang kebetulan menjadi Ketua Gugus Inti I, mengungkapkan bahwa penyusunan program kegiatan KKG dilakukan bersama-sama dengan pengurus KKG. Hal ini sesuai dengan anjuran dari pihak Depdiknas bahwa tiap-tiap Gugus Inti, perlu membuat proposal kegiatan tentang program kegiatan yang akan dilakukan Gugus Sekolah dalam satu tahun pelajaran.

"Kami sudah berusaha, melakukan penyusunan program kegiatan KKG sesuai dengan petunjuk dan kebutuhan guru. Namun demikian, saya juga merasakan terkadang kegiatan yang sudah kami susun tidak dapat terlaksana sesuai jadwal karena ada acara dinas mendadak atau ada kegiatan lain yang sifatnya insidental, sehingga pelaksanaan program tidak sesuai dengan rencana." (R-1).

Secara ideal, dalam sebuah program memang harus tepat waktu dalam penyelesaiannya sehingga tidak menghambat pencapaian program yang lain. Namun demikian, program kegiatan yang bersifat insidental (dari UNNES atau lainnya) sangat membantu guru dalam mengatasi kejenuhan pelaksanaan Kelompok Kerja Guru. Artinya, kebiasaan KKG yang monoton, dengan suasana pasif dan kurangnya kemampuan tutor dalam mengelola kelas, akan menjadi lain ketika suasana KKG berbeda dengan biasanya.

"Saya sangat senang, bila program KKG tidak monoton. Penyusunan program kegiatan KKG dengan menjalin kerja sama dengan lembaga lain yang berhubungan dengan pendidikan agaknya akan menambah semangat guru dalam KKG. Bahkan akan membuat suasana kejenuhan menjadi suasana kesegaran, karena yang menyampaikan materi tidak itu-itu saja" (R-3).

Perihal penyusunan program kegiatan tidak begitu penting bagi Bu Guru kelas satu ini. Selama ia bertugas menjadi guru kelas dan mengalami beberapa kali mutasi, ia beranggapan bahwa program kegiatan KKG adalah program yang disusun untuk membelajarkan guru. Dengan nada rendah, ia menjawab pertanyaan peneliti mengenai bagaimana penyusunan program KKG yang efektif:

"Kalau saya ya, Pak. KKG itu yang penting jalan. Tentang program kegiatan, itu sudah ada yang mengurus. Kami tinggal "manut" kebijakan pengurus Saya jadi guru sudah dua puluh lima tahun lebih, senangnya yang wajar-wajar saja. Tidak pernah "nggege mangsa", Pak!" (R-2).

Pernyataan subjek penelitian di atas mengenai penyusunan program KKG, ditanggapi oleh seorang Pengawas Sekolah yang rajin mengikuti jalannya KKG di beberapa Gugus Inti.

"Idealnya, semua guru di suatu Gugus Sekolah mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam KKG, sehingga tidak hanya mengikuti saja kebijakan pengurusnya. Masukan dan saran dari guru sangat penting dalam penyusunan program KKG, sehingga program yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan guru." (catatan lapangan).

2. Proses Pembelajaran dalam KKG

Dalam konteks yang aplikatif, guru harus mampu memaknai kegiatan KKG sebagai sebuah proses pembelajaran. Dalam pengertian dalam kegiatan KKG terjadi proses belajar, di mana terdapat "guru" dan "siswa". Guru diibaratkan adalah pemandu/tutor, sedangkan siswa diibaratkan guru lain yang menjadi pendengar dan pemerhati dalam kegiatan KKG.

"KKG sebenarnya sama dengan belajar. Guru-guru yang mengalami kesulitan dalam proses belajar-mengajar di kelas dapat dipecahkan dalam forum KKG. Yang sering dilaksanakan di Gugus Inti I, adalah kegiatan KKG secara umum. Hal ini karena permasalahan yang sering muncul merupakan hal yang bersifat umum. Selebihnya, permasalahan yang bersifat khusus, sering terabaikan." (R-1).

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat, dibarengi dengan inovasi bidang kurikulum menjadikan kegiatan KKG sebagai suatu proses yang sepertinya "wajib" diikuti guru. Perubahan-perubahan mendasar bidang kurikulum dan berbagai kebijakan pemerintah sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, menjadi wahana sosialisasi yang tepat melalui program KKG. Seorang guru senior, yang menjadi subjek penelitian kedua menanggapi positif adanya kegiatan KKG.

"Saya ini sudah tua, kalau tidak menambah ilmu melalui KKG kelihatannya otak saya sudah tidak mampu. Maklum sudah tua, tidak mampu melanjutkan studi karena anak-anak saya sudah kuliah. Ya, melalui KKG inilah satu-satunya jalan menambah ilmu." (R-2).

Suasana pasif memang terasa sekali dalam kegiatan KKG. Proses pembelajaran yang interaktif nyaris tidak pernah ada. Kegiatan monoton, dari "datang, duduk, dengar, canda, makan dan pulang" agaknya masih menghiasi suasana pertemuan dalam KKG yang dilaksanakan setiap hari Sabtu. Walaupun terkadang muncul pertanyaan dari guru dalam kegiatan KKG namun masih sebatas guru-guru yang boleh dikategorikan muda, di mana rasa ingin tahu dan semangatnya masih tinggi.

Sebagian besar, guru-guru yang sudah tua (berusia 45 tahun ke atas) hanya sebagai pendengar yang baik. Mereka memilih diam karena mereka menyadari bahwa sudah tidak mampu untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Ada semacam kecenderungan di hati mereka, bahwa guru-guru muda yang harus aktif dalam KKG. Seorang kepala sekolah yang peneliti tanya tentang kepasifan peserta KKG yang dari golongan tua menjawab:

"Biar yang muda-muda saja to, Mas. Saya kan sudah tua. Yang penting saya datang dan menjadi pendengar yang baik" (Catatan Lapangan).

Kepasifan proses pembelajaran dalam KKG, juga dirasakan oleh bu Guru yang tergolong masih muda ini. Menurutnya, KKG identik dengan belajar bersama secara kelompok. Kecenderungan suasana pasif dalam pelaksanaan KKG bisa diantisipasi dengan serangkaian kegiatan yang sifatnya bersama. Seperti, variasi pelaksanaan KKG dengan metode dan media pembelajaran.

"Barangkali salah satu cara mengajak ibu-ibu yang sudah "tua" agar aktif dalam KKG adalah mengikutsertakan mereka secara menyeluruh. Bernyanyi, barangkali akan berpengaruh positif kepada semangat guru dalam proses pembelajaran KKG" (R-3).

Agaknya proses belajar dalam kegiatan KKG di Gugus Inti I Cabang Dinas P dan K Kecamatan Kaliwungu, menjadi ajang berlatih dan mengasah diri. Seorang pemandu sangat menaruh perhatian yang tinggi dalam kegiatan KKG. Bahkan kepercayaan yang diberikan kepadanya sebagai pemandu mata pelajaran PPKn, membuatnya harus selalu belajar, baik melalui buku-buku pelajaran maupun media massa.

"Saya itu merasa belum cukup kemampuan untuk menjadi pemandu mata pelajaran PPKn. Walaupun saya sendiri sarjana PPKn, namun yang saya hadapi adalah guru-guru yang nota bene juga mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang lebih dibanding saya." (R-4).

3. Kedisiplinan Guru

Menurut pengamatan peneliti, jadwal dimulainya KKG belum dapat dilaksanakan tepat waktu. Namun demikian, ada hal menarik yang peneliti lihat selama proses kedatangan para guru dari SD Imbas. Mereka yang kebetulan mendapat tugas menyiapkan konsumsi pelaksanaan KKG, kerap kali datang lebih awal daripada guru lainnya. Hal ini karena, mereka harus menyiapkan dan mengemas makanan yang akan dijadikan konsumsi.

Hal yang lebih menarik lagi, adalah kedatangan para guru yang tidak pernah serempak atau mendekati bersama. Hasil pengamatan peneliti selama lima bulan, belum menunjukkan tingkat kedisiplinan tinggi dari para guru. Rata-rata para guru, hadir pukul 10.30 atau setengah jam lebih lambat dari jadwal yang ditetapkan. Ketika hal tersebut peneliti tanyakan kepada Kepala SD Inti, beliau menjawab:

"Beginilah, Pak. Saya kadang merasa tidak enak dengan Bapak Pengawas Sekolah. Biasanya dalam kegiatan tertentu kami mengundang Bapak PS, untuk mendampingi dalam pelaksanaan KKG. Namun, sering kali Pak PS-nya sudah datang, teman-teman guru belum datang." (R-1).

Seorang guru yang sudah lama mengajar dan kebetulan mengajar di SDN 01 Sarirejo yang merupakan SD Inti, menanggapi kedisiplinan dari sudut kebersaman dan kekeluargaan.

"Bagi saya, kedisiplinan adalah kebersamaan dan kekeluargaan. Percuma saja, kalau kedisiplinan waktu ditingkatkan sementara kegiatan tidak dapat berjalan" (R-2).

4. Kegiatan Tutorial

Menurut pengamatan peneliti yang ikut terjun dalam kegiatan KKG secara langsung, kegiatan tutorial yang ditandai penyampaian materi kepada peserta KKG belum menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Artinya, ada satu titik lemah bagi para pemandu yang dalam melaksanakan tugasnya cenderung monoton. Mereka datang dengan materi yang siap disajikan tanpa mengemas dengan variasi metode dan pemanfaatan media. Observasi peneliti, didukung oleh pendapat seorang guru yang masih tergolong yunior karena baru bertugas menjadi guru tujuh tahun yang lalu. Menjawab pertanyaan peneliti mengenai kualitas para pemandu, beliau menjawab: "Di Gugus Inti I sebenarnya sudah ada OHP, hanya jarang sekali dipakai, bahkan nyaris tidak pernah dimanfaatkan." (R-4).

Pernyataan dan harapan tersebut di atas, sepertinya memberi renungan tersendiri bagi peneliti yang kebetulan pernah menempuh studi yang berhubungan dengan media untuk memanfaatkan OHP. Waktu itu, materinya Bahasa Indonesia. Setengah jam sebelum dimulai, pemandu Bahasa Indonesia sudah datang dengan beberapa pengurus KKG langsung menuju ke ruang KKG.

Dalam hitungan jam yang saya pakai, mereka sudah lima belas menit mempersiapkan OHP yang akan digunakan untuk kegiatan KKG. Akan tetapi, belum juga berhasil. OHP sudah menyala, tetapi arah sinarnya tidak bisa mencapai layar. Berulang kali, mereka mencoba memasangkan transparan ke kaca OHP, namun sinar OHP tidak mampu menayangkan tulisan ke layar.

Karena mencapai kebuntuan dan peserta KKG sudah mulai berdatangan, menggerakkan hati peneliti untuk masuk ke ruangan dan ikut mengamati keberadaan OHP yang tidak mampu menampilkan tulisan ke layar. Perlahan-lahan saya mengamati OHP yang sudah menyala, itu berarti saluran listrik sudah benar. Setelah diminta bantuan untuk mengoperasikan OHP, saya menemukan permasalahan yang menyebabkan tulisan dalam OHP tidak bisa tampil dalam layar. Ternyata, mereka memasang tombol power berlawanan dengan arah layar. Layar berada di sebelah selatan, sedangkan tombol powernya berada di utara sehingga tulisan tidak bisa tertayang dalam layar. Dengan sisa-sisa tenaga, saya mencoba untuk menggeser letak OHP. Tombol power yang tadinya berada di sebelah utara sekarang berada di sebelah selatan, searah dengan layar. Seorang pemandu Bahasa Indonesia langsung menanggapi kejadian tersebut dengan sikap legawa dan intropeksi.

"Inilah salah satu kelemahan kami, bila OHP tidak pernah dimanfaatkan. Yang bisa memanfaatkan hanya mereka yang dulu pernah memakai" (Catatan Lapangan).

5. Interaksi dalam KKG

Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan diperoleh keterangan bahwa interaksi pelaksanaan KKG di Gugus Inti I Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kaliwungu berlangsung secara searah, dua arah/banyak arah. Interaksi searah kerap kali terjadi ketika para tutor hanya mengandalkan kemampuan penguasaan materi saja. Sedangkan interaksi dua arah/banyak arah, antara guru dengan guru peserta KKG, dan guru dengan tutor terjadi ketika ada permasalahan yang mengemuka namun belum ditemukan jawabannya secara pasti. Kondisi demikian juga mengharuskan ada interaksi antara tutor dengan tutor yang lain untuk memecahkan permasalahanm tersebut. Menjawab pertanyaan peneliti mengenai proses interaksi dalam pelaksanaan KKG, subjek penelitian ini menjawab: "Kalau interaksi dalam KKG di sini boleh dikatakan belum optimal. Bahkan sering tidak ada interaksi antara tutor dengan guru. Saya sendiri sebagai tutor kadang merasakan proses interaksi hanya berpusat pada tutor." (R-4).

Kekurangmampuan tutor dalam mengelola interaksi seperti dikatakan subjek penelitian di atas tergantung banyak hal. Setidaknya menurut subjek penelitian ini, interaksi dalam kegiatan KKG tergantung beberapa hal, di antaranya bagaimana seorang tutor mampu memberikan rangsangan kepada guru peserta KKG.

Ketika peneliti tanyakan kepada Ketua KKKS tentang interaksi pelaksanaan KKG, beliau membenarkan apa yang dikatatan subjek penelitian di atas. Menurutnya, dalam sebuah interaksi pasti terdapat dua kebutuhan yang saling melengkapi, yaitu rangsangan dan tanggapan. Semakin banyak rangsangan, sudah pasti akan banyak pula tanggapan yang muncul.

Proses interaksi yang menjadi bagian terpenting dalam pelaksanaan KKG, menjadikan pihak pengurus KKG diharapka mampu menyusun rencana kegiatan yang dapat mengefektifkan proses interaksi. Observasi yang peneliti lakukan, secara umum pelaksanaan KKG yang dilaksanakan secara klasikal (menyeluruh), proses interaksinya bermacam-macam, tergantung dari kemampuan tutor dalam mengelola proses pembelajaran. Jika tutor mampu mengelola proses pembelajaran, interaksinya berlangsung banyak arah, namun bila tutor hanya mengandalkan kemampuan akademisnya saja, interaksi berjalan secara dua arah. Menjawab kondisi tersebut, subjek penelitian yang juga sebagai Ketua Gugus Inti I, menjawab:

"Kami menyadari sepenuhnya bahwa proses interaksi di Gugus Inti I sini belum berjalan secara optimal. Hal ini karena tutor dan guru peserta KKG adalah teman sendiri" (R-1)

Pernyataan subjek penelitian di atas, langsung ditanggapi oleh seorang guru yang sudah lama mengajar dan berkecimpung dalam kegiatan KKG. Menurutnya, apa yang dikatakan Ketua Gugus Inti I benar adanya, perhatian guru dalam KKG kurang memberikan sumbangan yang nyata dalam interaksi. Ketika peneliti coba tanyakan kepada salah seorang peserta KKG yang dalam aktivitasnya cenderung acuh tak acuh terhadap pelaksanaan KKG, terutama kemampuan tutor, beliau menjawab:

"Saya memilih diam, karena apa yang disampaikan tutor tersebut sudah kadaluwarsa." (catatan lapangan).

Jika dikaitkan secara integratif, permasalahan yang ditelaah dalam pelaksanaan KKG ada kaitannya. Ibarat sebuah system, permasalahan tersebut saling melengkapi, dan muncul dari berbagai sudut kegiatan, yang muaranya pada kondisi objektif di lapangan. Secara argumentatif logis, bahwa pelaksanaan KKG di Gugus Inti I Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kaliwungu masih menimbulkan berbagai permasalahan yang krusial, baik permasalahan dalam penyusunan program, proses pembelajaran, kedisiplinan, kemampuan tutor dan interaksi dalam pelaksanaan KKG.

Secara analisis teori, pelaksanaan KKG di Gugus Inti I Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kaliwungu, juga masih menimbulkan berbagai fenomena permasalahan yang berhubungan dengan keoptimalan pencapaian tujuan pelaksanaan KKG, sebagai wahana mengembangkan kompetensi guru, baik kompetensi personal, profesional, dan kemasyarakatan.

Kesimpulan

1.     Secara substansi, ruang lingkup kegiatan KKG di Gugus Inti I Cabang Dinas P dan K Kecamatan Kaliwungu, membahas proses belajar-mengajar yang dilakukan guru. Pada tataran formal, program kegiatan KKG sudah disusun secara sistematis, namun dalam implementasinya belum maksimal. Hal ini karena mekanisme penyusunan program KKG hanya dilakukan oleh pengurus Gugus Sekolah, tanpa melibatkan guru.

2.     Secara umum, proses pembelajaran dalam KKG belum optimal, bahkan cenderung pasif karena dalam pelaksanaan KKG tidak ada sesuatu yang baru/inovatif.

3.     Tingkat kedisiplinan guru dalam mengikuti KKG belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Sebagian besar, guru datang ke SD Inti lebih lambat dari jadwal dimulainya pelaksanaan KKG. Hal tersebut menyebabkan pelaksanaan KKG tidak dapat mencapai tujuan secara optimal.

4.     Secara akademis, para pemandu KKG di Gugus Inti I Cabang Dinas P dan K Kaliwungu sudah mumpuni. Namun, secara aktivitas kemampuan para tutor dalam mengelola proses pembelajaran dalam KKG kurang kreatif dalam mengintegrasikan kemampuan yang dimiliki secara komprehensif. Hal tersebut ditandai adanya kepasifan peserta KKG, dan penampilan tutor ketika mempresentasikan materi kurang mampu mengemas dengan variasi metode dan media pembelajaran.

5.     Secara umum, interaksi yang terjadi berlangsung searah, di mana tutor/pemandu (komunikator) menyampaikan informasi/pesan sedangkan guru sebagai peserta KKG (komunikan) menjadi penerima pesan, tanpa terjadi umpan balik secara integratif.

Saran

1.     Penyusunan program kegiatan KKG, selain disesuaikan dengan kebutuhan guru dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga perlu dipikirkan terobosan-terobosan dan kerja sama dengan masyarakat, sejalan dengan peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah.

2.     Adanya kecenderungan proses pembelajaran KKG yang pasif dan kurang menarik dapat ditempuh KKG dengan Sistem Gugus Terpadu secara berkala/insidental.

3.     Pihak Gugus Sekolah perlu memikirkan upaya-upaya untuk mengaktifkan guru-guru dalam kegiatan KKG agar tepat waktu diantaranya dengan memberikan sertifikat KKG.

4.     Para pemandu bidang studi/tutor dalam melakukan tugasnya perlu diimbangi dengan kemampuannya berkolaborasi dengan media dan metode pembelajaran.

5.     Selain tutorial bermedia. proses interaksi dapat dioptimalkan dengan mengadakan evaluasi secara sistematis oleh Gugus Sekolah, yang kemudian berupaya untuk memperbaiki berbagai permasalahan yang ada dalam pelaksanaan KKG.

 

 

Pendidikan sebagai Investasi Jangka Panjang

Profesor Toshiko Kinosita mengemukakan bahwa sumber daya manusia Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebabnya karena pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Tidak ditempatkannya pendidikan sebagai prioritas terpenting karena masyarakat Indonesia, mulai dari yang awam hingga politisi dan pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang (Kompas, 24 Mei 2002).

Pendapat Guru Besar Universitas Waseda Jepang tersebut sangat menarik untuk dikaji mengingat saat ini pemerintah Indonesia mulai melirik pendidikan sebagai investasi jangka panjang, setelah selama ini pendidikan terabaikan. Salah satu indikatornya adalah telah disetujuinya oleh MPR untuk memprioritaskan anggaran pendidikan minimal 20 % dari APBN atau APBD. Langkah ini merupakan awal kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang. Sedikitnya terdapat tiga alasan untuk memprioritaskan pendidikan sebagai investasi jangka panjang.

Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif.

Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Produktivitas seseorang tersebut dikarenakan dimilikinya keterampilan teknis yang diperoleh dari pendidikan. Oleh karena itu salah satu tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan adalah mengembangkan keterampilan hidup. Inilah sebenarnya arah kurikulum berbasis kompetensi, pendidikan life skill dan broad based education yang dikembangkan di Indonesia akhir-akhir ini. Di Amerika Serikat (1992) seseorang yang berpendidikan doktor penghasilan rata-rata per tahun sebesar 55 juta dollar, master 40 juta dollar, dan sarjana 33 juta dollar. Sementara itu lulusan pendidikan lanjutan hanya berpanghasilan rata-rata 19 juta dollar per tahun. Pada tahun yang sama struktur ini juga terjadi di Indonesia. Misalnya rata-rata, antara pedesaan dan perkotaan, pendapatan per tahun lulusan universitas 3,5 juta rupiah, akademi 3 juta rupiah, SLTA 1,9 juta rupiah, dan SD hanya 1,1 juta rupiah.

Para penganut teori human capital berpendapat bahwa pendidikan adalah sebagai investasi sumber daya manusia yang memberi manfaat moneter ataupun non-moneter. Manfaat non-meneter dari pendidikan adalah diperolehnya kondisi kerja yang lebih baik, kepuasan kerja, efisiensi konsumsi, kepuasan menikmati masa pensiun dan manfaat hidup yang lebih lama karena peningkatan gizi dan kesehatan. Manfaat moneter adalah manfaat ekonomis yaitu berupa tambahan pendapatan seseorang yang telah menyelesaikan tingkat pendidikan tertentu dibandingkan dengan pendapatan lulusan pendidikan dibawahnya. (Walter W. McMahon dan Terry G. Geske, Financing Education: Overcoming Inefficiency and Inequity, USA: University of Illionis, 1982, h.121).

Sumber daya manusia yang berpendidikan akan menjadi modal utama pembangunan nasional, terutama untuk perkembangan ekonomi. Semakin banyak orang yang berpendidikan maka semakin mudah bagi suatu negara untuk membangun bangsanya. Hal ini dikarenakan telah dikuasainya keterampilan, ilmu pengetahuan dan teknologi oleh sumber daya manusianya sehingga pemerintah lebih mudah dalam menggerakkan pembangunan nasional.

 

 

 

 

Nilai

Balik Pendidikan Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja. Di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Ace Suryadi, Pendidikan, Investasi SDM dan Pembangunan: Isu, Teori dan Aplikasi. Balai Pustaka: Jakarta, 1999, h.247).

Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Di Asia nilai balik sosial pendidikan dasar rata-rata sebesar 27 %, pendidikan menengah 15 %, dan pendidikan tinggi 13 %. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar memberikan manfaat sosial yang paling besar diantara tingkat pendidikan lainnya. Melihat kenyataan ini maka struktur alokasi pembiayaan pendidikan harus direformasi. Pada tahun 1995/1996 misalnya, alokasi biaya pendidikan dari pemerintah Indonesia untuk Sekolah Dasar Negeri per siswa paling kecil yaitu rata-rata hanya sekirat 18.000 rupiah per bulan, sementara itu biaya pendidikan per siswa di Perguruan Tinggi Negeri mendapat alokasi sebesar 66.000 rupiah per bulan. Dirjen Dikti, Satrio Sumantri Brojonegoro suatu ketika mengemukakan bahwa alokasi dana untuk pendidikan tinggi negeri 25 kali lipat dari pendidikan dasar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya pendidikan yang lebih banyak dialokasikan pada pendidikan tinggi justru terjadi inefisiensi karena hanya menguntungkan individu dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat.

Reformasi alokasi biaya pendidikan ini penting dilakukan mengingat beberapa kajian yang menunjukkan bahwa mayoritas yang menikmati pendidikan di PTN adalah berasal dari masyarakat mampu. Maka model pembiayaan pendidikan selain didasarkan pada jenjang pendidikan (dasar vs tinggi) juga didasarkan pada kekuatan ekonomi siswa (miskin vs kaya). Artinya siswa di PTN yang berasal dari keluarga kaya harus dikenakan biaya pendidikan yang lebih mahal dari pada yang berasal dari keluarga miskin. Model yang ditawarkan ini sesuai dengan kritetia equity dalam pembiayaan pendidikan seperti yang digariskan Unesco.

Itulah sebabnya Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya, barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.

 

Fungsi

Non Ekonomi Ketiga, investasi dalam bidang pendidikan memiliki banyak fungsi selain fungsi teknis-ekonomis yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan. Fungsi sosial-kemanusiaan merujuk pada kontribusi pendidikan terhadap perkembangan manusia dan hubungan sosial pada berbagai tingkat sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan dirinya secara psikologis, sosial, fisik dan membantu siswa mengembangkan potensinya semaksimal mungkin (Yin Cheong Cheng, School Effectiveness and School-Based Management: A Mechanism for Development, Washington D.C: The Palmer Press, 1996, h.7).

Fungsi politis merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.

Fungsi budaya merujuk pada sumbangan pendidikan pada peralihan dan perkembangan budaya pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individual, pendidikan membantu siswa untuk mengembangkan kreativitasnya, kesadaran estetis serta untuk bersosialisasi dengan norma-norma, nilai-nilai dan keyakinan sosial yang baik. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mampu menghargai atau menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap keanekaragaman budaya. Dengan demikian semakin banyak orang yang berpendidikan diharapkan akan lebih mudah terjadinya akulturasi budaya yang selanjutnya akan terjadi integrasi budaya nasional atau regional.

Fungsi kependidikan merujuk pada sumbangan pendidikan terhadap perkembangan dan pemeliharaan pendidikan pada tingkat sosial yang berbeda. Pada tingkat individual pendidikan membantu siswa belajar cara belajar dan membantu guru cara mengajar. Orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran untuk belajar sepanjang hayat (life long learning), selalu merasa ketinggalan informasi, ilmu pengetahuan serta teknologi sehingga terus terdorong untuk maju dan terus belajar.

Di kalangan masyarakat luas juga berlaku pendapat umum bahwa semakin berpendidikan maka makin baik status sosial seseorang dan penghormatan masyarakat terhadap orang yang berpendidikan lebih baik dari pada yang kurang berpendidikan. Orang yang berpendidikan diharapkan bisa menggunakan pemikiran-pemikirannya yang berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Orang yang berpendidikan diharapkan tidak memiliki kecenderungan orientasi materi/uang apalagi untuk memperkaya diri sendiri.

Kesimpulan Jelaslah bahwa investasi dalam bidang pendidikan tidak semata-mata untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi tetapi lebih luas lagi yaitu perkembangan ekonomi. Selama orde baru kita selalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu hancur lebur karena tidak didukung oleh adanya sumber daya manusia yang berpendidikan. Orde baru banyak melahirkan orang kaya yang tidak memiliki kejujuran dan keadilan, tetapi lebih banyak lagi melahirkan orang miskin. Akhirnya pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati sebagian orang dan dengan tingkat ketergantungan yang amat besar.

Perkembangan ekonomi akan tercapai apabila sumber daya manusianya memiliki etika, moral, rasa tanggung jawab, rasa keadilan, jujur, serta menyadari hak dan kewajiban yang kesemuanya itu merupakan indikator hasil pendidikan yang baik. Inilah saatnya bagi negeri ini untuk merenungkan bagaimana merencanakan sebuah sistem pendidikan yang baik untuk mendukung perkembangan ekonomi. Selain itu pendidikan juga sebagai alat pemersatu bangsa yang saat ini sedang diancam perpecahan. Melalui fungsi-fungsi pendidikan di atas yaitu fungsi sosial-kemanusiaan, fungsi politis, fungsi budaya, dan fungsi kependidikan maka negeri ini dapat disatukan kembali. Dari paparan di atas tampak bahwa pendidikan adalah wahana yang amat penting dan strategis untuk perkembangan ekonomi dan integrasi bangsa. Singkatnya pendidikan adalah sebagai investasi jangka panjang yang harus menjadi pilihan utama.

This free website was made using Yola.

No HTML skills required. Build your website in minutes.

Go to www.yola.com and sign up today!

Make a free website with Yola